Suramnya Industri Kakao di Indonesia

Kakao merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia. Sebab, berdasarkan data Dewan Kakao, Indonesia menjadi pemasok terbesar nomor 6 di dunia.
Buah kakao juga memiliki nilai ekonomis tinggi. Bijinya dapat diolah menjadi bahan dasar pembuatan cokelat, sedangkan kulitnya dapat diolah dan dimanfaatkan menjadi pakan, bioetanol/biogas, dan pupuk organik.
Hanya saja saat ini sejumlah masalah mulai timbul. Salah satunya terkait minimnya investasi di sektor Hulu (perkebunan) sehingga industri kakao di Indonesia tidak berkembang pesat. Masalah lain, produktivitas kakao Indonesia sangat rendah.
Indonesia sebetulnya punya kemampuan untuk menghasilkan 700 ribu ton kakao per tahun, tapi realisasinya hanya mampu memproduksi 300-400 ribu ton. Salah satu masalahnya karena 90 persen pohon kakao berusia tua dan perkebunan masih dikelola perorangan.
Berikut kumparan membagikan fakta-fakta terkait minimnya investasi Kakao di Indonesia
Belum ada Jaminan Keamanan
Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman, mengakui investasi kakao di hulu masih minim. Nasibnya berbanding terbalik jika dibandingkan dengan kelapa sawit.
“Salah satu masalah pencurian ya kan, jadi beda dengan sawit. Jadi orang yang nanam itu sudah keluar biaya gede (besar) karena banyak pencurian. Jadi tidak ada industri besar yang masuk ke hulu,” ujar Piter saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Rabu (4/9).
Petugas Balai Karantina Pertanian Kendari cek kondisi fisik bibit kakao usia 3 bulan, Rabu (8/8/2018). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
97 Persen Perkebunan Kakao Masih Dikelola Petani
Selain soal keamanan, saat ini 97 persen perkebunan kakao di Tanah Air masih dikelola petani (individu). Atau dalam istilah perkebunan kelapa sawit disebut petani plasma.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, sebesar 97 persen lahan kakao di Indonesia dikelola oleh petani. Sementara pemerintah hanya mengelola 1 persen dan swasta 2 persen dari total luas lahan 1,6 juta hektare (ha).
Produksi Kakao Turun Terus
Adapun persoalan lain seperti penurunan produksi. Adapun rendahnya produktivitas disebabkan 90 persen pohon-pohon kakao memasuki usia tua atau 30 tahun lebih. Pohon tersebut perlu peremajaan atau mirip dengan konsep replanting di perkebunan kelapa sawit.
“Sudah (usia) 30 tahun ke atas semua, 90 persen ada hampir semua,” kata Piter.
Karena usia sudah tua, produktivitas perkebunan kakao hanya mencapai 500-700 kilogram per ha per tahun. Jauh di bawah rata-rata potensi sebesar 2.000 kg per ha per tahun