Sejarah Revolusi Hijau dan Dampaknya Hingga Saat Ini

Traktor hijau membajak ladang (sumber: pexels/jannis knorr)

Revolusi hijau, sekilas kata ini terdengar seperti sebuah fenomena yang membawa perubahan besar bagi lingkungan. Namun, revolusi hijau ternyata memiliki makna yang menyimpang dengan upaya pelestarian lingkungan. Revolusi hijau adalah reformasi sistem pertanian secara global yang terjadi sejak 1950-an hingga 1960-an. Revolusi hijau bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pangan dengan cara mengubah pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Revolusi hijau memang mampu meningkatkan produksi pangan dan mengatasi krisis kelaparan di berbagai belahan dunia, tapi kini umat manusia harus membayar dampak buruk dari revolusi hijau, seperti kepunahan keanekaragaman hayati, degradasi ekosistem, dan perubahan iklim.

Revolusi hijau dimulai oleh seorang pakar agronomi, Norman Borlaug, yang berhasil menciptakan varietas baru benih gandum pada 1940-an, lalu membudidayakannya di Meksiko. Bukan hanya itu, Norman Borlaug juga mempromosikan penggunaan pupuk kimia dan sistem irigasi modern. Dalam kurun waktu dua dekade, Meksiko yang awalnya negara pengimpor gandum pun mampu meningkatkan dua kali lipat produksi gandumnya hingga menjadi swasembada dan pengekspor gandum. Revolusi hijau pun mulai diterapkan di negara lain seperti India, Pakistan, Turki, dan negara lainnya termasuk Indonesia.

Program revolusi hijau di Indonesia dimulai pada masa orde baru melalui program Bimas (Bimbingan Massal) dan Panca Usaha Tani yang mendorong petani untuk (1) menggunakan bibit unggul (2) Pemupukan (3) Pemberantasan hama dan penyakit (4) Pengairan dan (5) Perbaikan cocok tanam. Program Bimas kemudian berkembang menjadi program Intensifikasi Massal (Inmas). Melalui program Inmas ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi bibit unggul, pupuk, pestisida, dan teknologi lainnya. Sejak Indonesia menjalankan program revolusi hijau, Indonesia mampu swasembada beras.

Dampak Revolusi Hijau

Fotografi fokus selektif ladang gandum-Revolusi hijau (sumber: pixabay)
Fotografi fokus selektif ladang gandum (sumber: pixabay)

Revolusi hijau hadir untuk mengatasi kelaparan dengan meningkatkan produksi pangan melalui modernisasi pertanian. Meskipun revolusi hijau telah berhasil mengatasi kelaparan untuk beberapa waktu tertentu, krisis pangan pada kenyataannya masih mengintai beberapa negara terutama negara berkembang. Hal ini karena terjadi degradasi ekosistem yang mengakibatkan produksi pangan justru semakin menurun.

Bibit unggul yang digunakan pada masa revolusi hijau adalah benih rekayasa sehingga berbeda dengan bibit atau benih yang biasa digunakan oleh petani tradisional. Bibit unggul didapatkan melalui pengembangbiakan selektif untuk meningkatkan kualitas dengan cara mengembangkan sifat genetik tertentu. Meskipun bibit unggul ini menghasilkan tanaman yang berkualitas, bibit unggul ini tidak bisa dibiakan secara mandiri oleh petani untuk penanaman musim berikutnya. Oleh karena itu, petani harus kembali membeli bibit unggul yang bersertifikat untuk penanaman berikutnya. Dampaknya, petani harus meningkatkan modal produksinya. Selain itu, penggunaan bibit unggul juga menyebabkan kepunahan keanekaragaman hayati karena petani didorong untuk menanam satu jenis tanaman sehingga tanaman lokal yang beragam mulai tersisihkan.

Bibit unggul juga membutuhkan pupuk dan pestisida sintetis serta air yang lebih agar bisa tumbuh maksimal. Oleh karena itu, penggunaan pupuk dan pestisida semakin intensif pada masa revolusi hijau. Sisa residu dari pupuk dan pestisida sintetis ini dapat mencemari tanah sehingga unsur hara di dalam tanah pun menurun. Akibatnya, tanah menjadi tidak subur dan petani menjadi ketergantungan untuk menggunakan pupuk sintetis. Selain itu, penggunaan pestisida sintetis juga menyebabkan populasi hama bermutasi dan menjadi semakin ganas.

Revolusi hijau juga membawa dampak terhadap kehidupan petani. Revolusi hijau membuat modal produksi menjadi lebih mahal karena petani harus membayar lebih untuk pengolahan tanah, bibit unggul, pupuk dan pestisida sintetis. Meningkatnya modal produksi ini memaksa petani yang berada di kelas menengah ke bawah untuk berhutang. Ketika petani berada dalam kondisi putus asa dan tidak bisa membayar hutang, banyak dari mereka yang memutuskan untuk melakukan bunuh diri seperti yang terjadi di India. Pada 2019, setidaknya 10.281 orang yang bekerja di sektor pertanian di India dinyatakan bunuh diri.

Memulihkan Ekosistem Melalui Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan

Memulihkan ekosistem yang sudah rusak memang tidak mudah. Revolusi hijau sudah memberikan dampak yang begitu besar sehingga petani pun terlanjur ketergantungan dan enggan untuk beralih ke pertanian yang lebih berkelanjutan karena dinilai tidak ekonomis. Namun, kini konsep agroekologi yang mengedepankan keberlanjutan dan ekonomi pun sudah mulai berkembang. Di Korea contohnya, seorang petani bernama Youngsang Cho mengembangkan sistem pertanian organik yang dapat menurunkan harga produksi. Di Indonesia pun, penggiat agroekologi juga sudah mulai berkembang.

Sebagai konsumen, kita juga bisa menyelamatkan ekosistem mulai dari piring kita seperti mengonsumsi sayuran dan buah lokal, mengompos sisa makanan di rumah, menanam tanaman lokal di pekarangan, dan mulai mencari tahu dari mana asal makanan kita berasal. Hal tersebut secara tidak langsung dapat mendukung konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.

Ditulis oleh: Siti Aisyah Novitri

Referensi

https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/view/45139/27364https://www.welthungerhilfe.org/news/latest-articles/2021/dark-side-of-the-green-revolution/

https://kumparan.com/berita-hari-ini/mengenal-revolusi-hijau-di-indonesia-program-untuk-modernisasi-pertanian-1wGDeGdDDQY/3

https://www.thoughtco.com/green-revolution-overview-1434948https://www.thoughtco.com/green-revolution-overview-1434948

https://www.downtoearth.org.in/news/agriculture/every-day-28-people-dependent-on-farming-die-by-suicide-in-india-73194