Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang kian pesat telah membuka sebuah era baru, yakni era Revolusi Industri 4.0. Era ini menitikberatkan digitalisasi dan data yang terintegrasi dengan manufaktur sebagai kolaborasinya. Kemajuan ini tentu memberi dampak pada berbagai sektor usaha, termasuk pertanian.

Pada forum Indef School of Political Economy (ISPE) di London Inggris, Desember lalu, Duta Besar RI untuk Polandia Peter Gontha mengawali ceramahnya dengan suatu kritik serius bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sumber kemiskinan.
Kritik Peter Gontha tersebut, membuat hati kita menjadi sesak. Selain sebagai negeri maritim yang ditandai dengan potensi kepulauannya, Indonesia dikenal sebagai Negara agraris. Namun, sayangnya, dua sektor itu seolah justru kerapkali tak mendapat perhatian serius. Faktanya, masih banyak para nelayan ataupun petani kita masuk dalam kategori belum sejahtera.
Merujuk pada opini Bustanul Arifin-Guru Besar Ekonomi Pertanian Unila, setelah hampir memasuki tahun terakhir dari Kabinet Kerja Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla, kinerja sektor Pertanian belum banyak menjadi basis ekonomi Indonesia seperti amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Pertanian dalam arti luas tumbuh 3,81 persen per tahun.
Capaian itu, sebenarnya tak terlalu buruk mengingat kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,06 persen pada 2017. Masyarakat tak akan berharap pertumbuhan pertanian mencapai 6 persen seperti era 1980-an ketika pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen. Artinya, sektor pertanian belum mampu menjadi pengganda pendapatan dan pengganda lapangan kerja bagi perekonomian Indonesia.

Pertanian sebagai salah satu sektor penyerap tenaga kerja terbesar bisa menjadi sektor yang paling terpengaruh disrupsi tersebut. Adanya potensi tenaga kerja manusia diganti dengan mesin dalam skala besar merupakan sebuah ancaman. Akibatnya, pertanian dan revolusi industri yang seharusnya bisa berjalan beriringan justru dapat menjadi berseberangan.
Kehadiran Revolusi Industri 4.0 seharusnya mampu memberikan peluang bagi sektor pertanian. Hal ini dikarenakan konsep serupa telah dijadikan paradigma dalam pembangunan pertanian oleh pemerintah.
Terbukti dengan dibentuknya Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015—2045 yang mengarah pada Pertanian-Bioindustri. Adanya kekhawatiran atas Revolusi Industri 4.0 muncul karena budaya bertani di Indonesia berbeda dengan negara lain. Di Indonesia masing-masing daerah memiliki kearifan lokal tersendiri dalam bertani.
Kearifan lokal oleh masyarakat masih dinilai sebagai teknologi yang paling tepat dan sesuai untuk bertani. Alasan tersebut kemudian berdampak pada sulitnya penerapan teknologi baru. Perlu sebuah solusi sebagai jembatan agar pertanian siap menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Salah satu tujuan Revolusi Industri 4.0 dari sektor pertanian adalah meningkatkan produktivitas dengan efektif dan efisien. Berdasarkan tujuan, terlihat bahwa fokus dalam pengembangan sektor pertanian masih berupa produk fisik yang akan mengalami kendala di masa yang akan datang.
Terlebih jika pelakunya merupakan petani kecil yang tidak memiliki lahan luas. Pembangunan sektor nonpertanian yang lebih berkembang menyebabkan keberadaan lahan pertanian semakin terancam. Akibatnya, produktivitas bukan lagi prioritas untuk ditingkatkan. Penurunan mutu lahan karena pengolahan yang kurang tepat juga akan berpengaruh.
Selain itu, produk pertanian memiliki sifat yang memerlukan penanganan khusus, misalnya tidak tahan lama dan mudah rusak, makan tempat (rowa), musiman, serta harganya yang fluktuatif. Masing-masing sifat akan memiliki tantangan tersendiri sehingga pengembangan produk jasa dari pertanian juga diperlukan.
Potensi agrowisata
Produk jasa pertanian memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Salah satu caranya adalah melalui agrowisata. Di Indonesia, agrowisata atau agroturisme didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata dengan tujuan memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi, dan hubungan usaha di bidang pertanian.
Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan petani sekaligus melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya ataupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (Syaribulan dan Nawir, 2016).
Pada dasarnya, agrowisata adalah penempatan sektor primer (pertanian) di sektor tersier (pariwisata) yang bertujuan membantu meningkatkan pendapatan petani. Petani dan sektor pertanian akan mendapat keuntungan dari aktivitas agrowisata. Agrowisata juga mampu menjaga keberlanjutan sektor pertanian dan menghindarkan sektor pertanian dari proses marginalisasi (Winda dkk., 2010).
Revolusi Industri 4.0 dapat memasukkan unsur teknologi dalam mengupayakan produktivitas produk pertanian. Tenaga kerja manusia yang digantikan oleh mesin akan tetap mendapat pekerjaan. Melayani wisatawan, menyiapkan kebutuhan seperti makan dan tempat tinggal serta menjadi pemandu merupakan alternatif pekerjaan sebagai konsep pemberdayaan.
Solusi agrowisata untuk menyongsong Revolusi Industri 4.0 perlu didukung oleh berbagai pihak. Beberapa stakeholder terkait yang dapat diberdayakan dalam pengembangan agrowisata adalah petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani, kelompok wanita, PKK, karang taruna, serta dinas atau instansi pemerintah.
Leave a Reply