Pertanian = Kemiskinan

Oleh : Muhammad Afif Fahreza ( kokoh )

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. (Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Pokok Agraria)

Semangat Indonesia Merdeka adalah “Kedaulatan Rakyat”. Bung Hatta dalam kutipan di atas menegaskan, tercapai tidaknya cita-cita ini menentukan tinggi rendahnya derajat Kita sebagai bangsa. Sebab, ibarat tubuh, rakyat adalah jantung dan hatinya bangsa. Semangat mewujudkan kedaulatan rakyat dilatarbelakangi oleh kebijakan Kolonial yang menindas, kejam, dan tidak manusiawi, di antaranya “Cultuurstelsel” (tanam paksa), penerapan politik “Domain Negara” dalam Agrarische Besluit sebagai pelaksanaan Agrarische Wet 1870. (Sajogyo Institute).

Kondisi Pertanian Indonesia

Dalam periode lima tahun (2018–2023), sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan besar terkait pengurangan lahan pertanian yang produktif. Lahan sawah primer yang merupakan tulang punggung produksi pangan nasional, mengalami penyusutan drastis.

Lahan sawah primer menyusut 7,7 juta hektar menjadi 7,1 ( 648.000 hektar ) mempengaruhi ketahanan pangan dan ekonomi perdesaan;

Sumber Daya manusia mengalami penyusutan dalam sektor pertanian ( World Bank ) 55,5% populasi menjadi 28,5% pada tahun 2019, BPS 2018 perubahan Demografis peningkatan kepala keluarga berusia 45 tahun dan penurunan usia produktif 45 tahun, berdampak pada potensi teknologi baru dalam pertanian dan kapasitas produksi pertanian.

Masalah Ekonomi, pendapatan sektor pertanian sangat rendah, 2020 pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya Rp. 1,92 juta dan merupakan angka terendah di antara 17 sektor lainnya, dimana basis indonesia sebagai negara khatulistiwa dan punya musim panen yang banyak tapi tidak di produktifitaskan.

REFORMA AGRARIA Membutuhkan Land Reform by Leverage.

Land reform by leverage, atau reforma agraria dari bawah (Petani), adalah konsep di mana redistribusi lahan dilakukan atas inisiatif masyarakat (petani) , bukan atas dasar kebaikan pemerintah (land reform by grace). Konsep ini menekankan pada peran aktif masyarakat (petani) dalam menuntut dan mengimplementasikan redistribusi lahan untuk mencapai keadilan agraria sejati di Republik ini.

  1. Mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan;
  2. Meningkatkan kesejahteraan petani
  3. Mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan;
  4. Mengurangi konflik agraria;
  5. Memenuhi keadilan sosial.

Dualisme Pertanahan di Indonesia Dampak permasalahan.

Dualisme terjadi antara Kementerian ATR/BPN yang mengelola non- kawasan hutan dan KLHK yang mengelola kawasan hutan. Kawasan hutan yang dikelola KLHK mencakup sekitar 64% dari total luas daratan Indonesia. Kemen ATR/BPN mengelola lahan non-kawasan hutan yang mencakup sisanya. Permasalahan secara faktual, terjadi tumpang tindih pengelolaan antara kawasan hutan dan non- hutan. Ketidakpastian hukum dan kebijakan dalam sektor agraria dan pertanian

Contoh

  • Upaya pemerintah untuk membuka lahan di wilayah Papua dan kalimantan yang mana sebagian besar dikelola oleh KLHK namun kebutuhan untuk memperluas lahan pertanian di wilayah tersebut tinggi terutama dalam peningkatan ketahanan pangan nasional
  • Menghambat penerbitan sertifikat tanah bagi petani dalam kawasan hutan,
  • Menunda dan menggugurkan ekstensifikasi sawah serta peningkatan luas areal pangan dan Penurunan produktivitas pertanian

Langkah strategis solusi

Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut:

  • Harmonisasi Regulasi: Perkuat koordinasi antara KLHK dan Kemen ATR/BPN
  • Percepatan Penataan Batas Lahan: Percepat proses penataan batas lahan antara kawasan hutan dan non-hutan
  • Pengembangan Kebijakan Agraria Terpadu: Mengembangkan kebijakan agraria terpadu yang melibatkan kedua kementerian guna mendukung reforma agraria dan ekstensifikasi sawah Pemberdayaan Masyarakat Lokal: Memberikan perlindungan hukum dan dukungan akses bagi masyarakat lokal yang telah lama bercocok tanam di kawasan hutan.

Governansi Agraria: Tata Ruang, Tata Kelola dan Tata Kelembagaan Tata Ruang

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur penggunaan lahan dengan bijak dan berkelanjutan.

Permasalahan secara faktual;

  • Alih fungsi lahan: lahan pertanian produktif menjadi lahan non-produktif. “lebih dari 100.000 hektar lahan pertanian dialihfungsikan setiap tahun sehingga mengancam ketahanan pangan nasional (BPS 2022)”
  • Ketimpangan penguasaan lahan: Sengketa lahan yang melibatkan masyarakat kecil dan korporasi besar. “Lebih dari 3.000 kasus sengketa tanah belum terselesaikan sehingga menambah kompleksitas dalam redistribusi lahan (Fauzi 2019)”

Langkah strategis solusi

  • Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA): Redistribusi lahan kepada petani kecil dan masyarakat adat.
  • Perluas Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL): Para petani dapat mengakses pembiayaan usaha, peningkatan produktivitas pertanian dan kemandirian ekonomi masyarakat pedesaan.
  • Desentralisasi Tata Kelola: Pengelolaan lahan dilakukan secara optimal sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal.
  • Pelaksanaan One Map Policy: Upaya mengatasi masalah tumpang tindih dalam pemanfaatan lahan. Mempercepat pelaksanaan program- program pembangunan infrastruktur dan pengembangan kawasan dengan menyediakan peta tunggal yang akurat dan terintegrasi yang mencakup tata ruang agraria dan penggunaan lahan.

Governansi Agraria: Tata Ruang, Tata Kelola dan Tata Kelembagaan Tata Kelola Agraria : Konsolidasi Lahan Rakyat

Peraturan Menteri ATR 12/2019 tentang Konsolidasi Tanah menjadi landasan penting dalam pelaksanaan strategi ini, yang memberikan pedoman jelas mengenai cara pengelolaan lahan secara terorganisir. Menurut Setyawan (2019), salah satu tantangan terbesar dalam implementasi program konsolidasi lahan adalah rendahnya partisipasi masyarakat lokal. Kebijakan yang mendorong keterlibatan masyarakat lokal dan pelibatan petani dalam pemetaan lahan sangat diperlukan untuk keberhasilan program ini. Sertifikat kepemilikan bersama yang dihasilkan dari reforma agraria di Kabupaten Cianjur menjadi model yang bisa ditiru oleh daerah lain di Indonesia (Suwandi 2020).

Maka lantunan bukti sebagai berikut ;

  • Badan Pusat Statistik Perubahan Luasan Lahan Sawah Lahan sawah turun menjadi 7,1 juta hektar pada 2023. Penurunan dari 7,46 juta hektar pada tahun sebelumnya. Penyebab utama adalah alih fungsi lahan, mengurangi lahan produktif.
  • BPS melaporkan bahwa redistribusi lahan mencapai 1,2 juta hektar pada tahun2023, meskipun target awalnya 9 juta hektar. ini nampak bias karena pada penerapan nya masih ada 3.000 konflik sengketa lahan yang memperlambat program ini
  • Meskipun demikian, Program Pendaftaran Tanah Sertifikat Lengkap (PTSL) telah berhasil menerbitkan sekitar 200.000 sertifikat tanah bagi petani kecil dalam memberi kepastin hukum dan akses lahan sudah optimal tapi pengoptimal ini tidak termasuk dalam edukasi penggunaan lahan dan penerapan jangka panjang untuk petani hari ini.

apakah ini hanya sebatas formalitas tanpa advokasi kemakmuran dan keadilan itu sendiri?

Governansi Agraria: Tata Ruang, Tata Kelola dan Tata Kelembagaan Tata Kelembagaan Agraria : Korporasi Petani

Korporasi petani merupakan konsep yang menggambarkan suatu kelembagaan ekonomi petani yang berbadan hukum, seperti koperasi atau entitas hukum lain yang mana sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh petani. Permentan 18/PERMENTAN/RC.040/4/2018 mengatur pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani bertujuan meningkatkan produktivitas dan daya saing sektor pertanian melalui pendekatan korporasi yang lebih terorganisir. Hasil kajian Wijayanti (2021) menunjukkan kawasan pertanian yang dikelola melalui model korporasi petani memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan pertanian skala kecil yang dikelola oleh petani individual. Lebih dari 120 kawasan pertanian telah dibentuk (Kementerian Pertanian 2023). Menurut BPS, adanya peningkatan koperasi aktif di sektor pertanian lebih dari 22.000 koperasi yang mendukung integrasi pasar dan peningkatan skala ekonomi bagi petani kecil.

Pengungkapan Fakta Empiris ;

  • Kekurangan Payung Hukum: Belum adanya perpres yang mengatur tata laksana, pembagian tugas, dan kewenangan di tiap kementerian/lembaga dalam membangun korporasi petani dan nelayan. Koordinasi yang Lemah: Tidak ada koordinasi dan integrasi yang efektif antar kementerian/lembaga dalam pengembangan korporasi petani yang menyebabkan perencanaan dan pelaksanaan yang berjalan terpisah.
  • Kebijakan Afirmasi yang Lemah: Belum adanya penguatan kebijakan afirmasi untuk mendorong terbentuknya korporasi petani yang profesional, menghambat formalisasi dan pengembangan struktur korporasi yang efektif.
  • Terbatasnya Jaringan dan Akses Pembiayaan: Masih terbatasnya jaringan kerjasama bisnis dan membatasi kemampuan ekspansi serta operasional;
  • Infrastruktur yang Tidak Memadai: Masih belum memadainya prasarana dan sarana pendukung kegiatan produksi serta pengelolaan dan pemasaran hasil;
  • Kesulitan Konsolidasi Petani: Tidak mudah melakukan konsolidasi petani yang terbiasa bekerja secara independen;
  • Kapasitas SDM yang Terbatas: Masih terbatas kapasitas sumber daya manusia petani dalam mengelola korporasi secara profesional.

KESIMPULAN

Dengan implementasi strategi governansi agraria yang terintegrasi, meliputi tata kelola ruang agraria, konsolidasi lahan, dan tata kelembagaan korporasi petani, Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor pangan.

Pemerintah perlu melakukan harmonisasi regulasi antara KLHK dan KemenATR/BPN, mempercepat penataan batas lahan, serta mengembangkan kebijakan agraria terpadu. Kebijakan ini harus memperjelas penggunaan lahan dan memastikan keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan ekstensifikasi lahan pertanian. Dengan demikian, dualisme pertanahan dapat diatasi, sehingga mendukung reforma agraria dan ketahanan pangan nasional secara lebih efektif.

Penguatan kelembagaan petani, adopsi teknologi modern, serta pemberdayaan agraria yang holistik dan terintegrasi dalam kelembagaan kolaboratif multi-pihak menjadi langkah strategis untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi. Dengan pendekatan yang komprehensif ini, kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan dapat ditingkatkan, dan pembangunan agraria yang adil serta efisien dapat tercapai. Sehingga bangsa Indonesia bisa keluar dari middle income trap secara otoritatif melalui industrialisasi pedesaan berbasis pengembangan komoditi pertanian.

Mari bersama memelihara kewarasan, merawat harapan, dan senantisasa melawan!

Daftar Pustaka

Aditya, R. (2021). Pemberdayaan Petani dan Kontribusi Terhadap Ketahanan Pangangan Nasional. Agrisains, 15(1), 1–12.

Anwar, S.. et al. (2016). Pengelolaan Tata Ruang dan Tantangannva di Indonesia. Jumal Pengembangan Wilayah, 12(3), 41–56.

Badan Pusat Statistik. (2022). “Statistik Pertanian Indonesia.”

Fauzi, M.(2019). Dampak Reforma Agraria Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Agraria, 21(4), 33–44.

Kurniawan, A. (2020). Peran Koperasi Pertanian dalam Meningkatkan Akses Pembiayaan Petani Kecil. Ekonomi Pertanian Indonesia, 8(2), 101–118.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang (KemenATR). (2020). Laporan Tahunan 2020: Pemberdayaan Petani Melalui Reforma Agraria. KemenATR Press.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang (KemenATR). (2023). Laporan Reforma Agraria.

Kementerian Pertanian. (2021). Penyululuhan dan Teknologi Pertanian.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2022). Laporan Infrastruktur Pertanian.

Kementerian Koperasi dan UKM. (2021). Akses Kredit Usaha Mikro untuk Petani.

Mardiana, R. (2017). Contesting Knowledge of Land Access Claims in Jambi, Indonesia. Jerman: Universitas Georg August Gottingen.

Purnamasari, S.(2018). Dampak Fragmentasi Lahan Terhadap Produktivitas Pertanian di Indonesia. Jurnal Agraria, 5(2), 143–156.

Rahman, M. (2020). Inovasi Teknologi Pertanian dalam Meningkatkan Produktivitas Lahan di Indonesia. Agritech, 16(4), 200–215.

Sajogyo Institute. (2024). Reforma Agraria dan Cita-Cita Kemerdekaan: Sudah Sampai Mana? Sajogyo Institute. Diakses dari Sajogyo Institute.

Sari, T., & Hadi,N. (2020). Alih Fungsi Lahan Pertanian di Indonesia: Dampak dan Solusi Kebijakan. Jurnal Tata Ruang, 5(1), 74–89.

Setyawan, E.(2019). Peran Partisipasi Masyarakat dalam Program Konsolidasi Lahan. Jumal Pengelolaan Agraria, 3(4), 89–102.

Simatupang, P. (2017). Perubahan Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Produksi Pangan. Jurnal Pertanian Berkelanjutan, 8(2), 102–110.

Suwandi, R. (2020). Model Kepemilikan Bersama Reforma Agraria: Studi Kasus Kabupaten Cianjur. Agrisains, 15(3), 45–58.

Sutanto, A. (2017). Koperasi Petani: Strategi Meningkatkan Skala Ekonomi Petani Kecil. Jurnal Ekonomi Pertanian, 9(1), 78–90.

Undang-Undang Dasar 1945. (2024). Pasal 33 ayat (3) tentang penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam oleh negara. Kompas.com. Diakses dari Kompas.

Wijayanti, D. (2021). Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani di Indonesia. Jurnal Pertanian Berkelanjutan, 12(2), 123–136.