Pada saat Thomas Robert Malthus mengemukakan teorinya soal pangan dan pertumbuhan penduduk dalam An Essay on the Princilple of Population pada 1798, publik Inggris –tempat Malthus mengemukakan teorinya– pecah menjadi dua. Ada pihak yang pesimis di satu sisi, dan pihak yang optimis di sisi lain. Pada tulisannya itu, Malthus memprediksi bahwa pada suatu saat, laju pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, dst) tidak akan bisa diimbangi oleh laju penyediaan pangan yang mengikuti deret hitung (1, 2, 3, 4, dst) Sehingga pada masanya akan terjadi bencana kelaparan global karena dunia kekurangan bahan pangan.
Pihak yang optimis memandang teori Malthus tersebut sebagai pengingat dan pemacu semangat, sehingga memacu untuk kerja keras, berinovasi, dan berbagai upaya lain agar prediksi Malthus tak benar-benar terjadi. Sementara, pihak yang pesimis dengan teorinya itu, mereka mencaci, murung, menjadi kontraproduktif.
Jadi, kalau hari ini muncul dua kutub kelompok yang saling bertolak belakang ketika ada wacana atau hal baru itu ya wajar. Memang sudah dari zaman dulu manusia begitu kok. Suka gontok-gontokan. Ketika isu-isu lain bermunculan, kelompok-kelompok baru akan terus terbentuk. Ada pihak yang setuju dan optimis, ada pihak yang kontra dan pesimis. Niscaya itu. Namun, tetap saja kepada kitalah semua pilihan itu berpulang, mau menjadi pihak yang pesimis yang hanya mengutuk dan mengumpat, atau menjadi si optimis yang terus berusaha memenangkan setiap keadaan. The choice is yours.
Hari ini kita sedang dalam persimpangan itu. Kehidupan kita hari ini memasuki babak baru yang disebut revolusi industri gelombang empat. Orang sering juga menyebutnya Revolusi Industri 4.0. Pada era ini, dunia berubah karena hadirnya internet yang menyatu dengan segala lini kehidupan manusia. Hal ini, lagi-lagi, melahirkan dua kelompok tadi. Si optimis dan pesimis. Lahirnya Gojek, Grab, Traveloka, Tokopedia, dan lain sebagainya adalah contoh nyata. Mereka hadir menggulung lini bisnis yang enggan berubah dari zaman sebelumnya.
Di sisi lain, mereka juga menghidupkan lini bisnis yang hendak mati dari zaman sebelumnya. Traveloka –dan e commercelainnya– misalnya, kehadiranya membuat pusat-pusat perbelanjaan ibukota menjadi sepi. Namun, di pihak lain seperti PT POS merasakan manfaatnya. Lini bisnis pengiriman dokumen dan uang yang sudah hendak mati diterjang akun email dan mesin ATM kembali bergairah berkat tumbuhnya permintaan kirim barang sebagai efek berkembangnya tren belanja online. Begitulah selalu takdir teknologi. Menjadi iblis bagi satu pihak, sementara pihak lain menganggapnya sebagai dewa penyelamat.
Setali tiga uang dengan sektor lain, sektor pertanian yang kerap diasosiasikan terbelakang dan “ndeso” juga mau tidak mau akan bersinggungan dengan teknologi tersebut. Persinggungan keduanya tentu akan memunculkan cara baru dalam bertani. Dan, lazimnya sesuatu yang baru ia akan menjadi rekan bagi satu pihak dan pada saat yang sama menjadi musuh bagi pihak lain. Sebut saja, Tanibox, I Grow, Habibie Garden, dan masih banyak platform teknologi yang menggarap sektor pertanian lainnya.
Pilihanya dua, menyambut kehadirannya dengan tangan terbuka atau coba melawannya dengan risiko digilas kehadiranya. Sesimpel itu. I Grow umpamanya, ia menawarkan skema investasi jangka pendek hingga jangka panjang untuk usaha tani. Bagi para petani yang tak memiliki modal besar, I Grow tentu menjadi sangat solutif, apalagi kita tahu bahwa petani memang dianggap tak bankable sehingga susah untuk mengajukan pinjaman modal ke bank. Bagi investor yang menginginkan uangnya tetap berputar tentu investasi di sektor pertanian bisa jadi alternatif. Tapi, bagi para tengkulak cum rentenir yang biasa menanam jeratnya lewat pemberian utang modal tanam ini menjadi masalah besar. Praktis pangsa pasarnya akan tergerus.
Dengan pola yang agak berbeda, Tanibox menawarkan hal yang tak kalah menarik. Perusahaan yang memiliki markas di Estonia ini menawarkan manajemen sistem pertanian komprehensif. Tak tanggung-tanggung, sistem Tanibox memungkinkan manajemen terpadu dari hulu ke hilir. Ia memiliki tiga produk layanan utama yakni Tania, Terra, dan Trace. Tania ini merupakan produk berupa aplikasi manajemen pertanian; dengan produk ini siapapun yang hendak bertani akan terbantu dari proses perencanaan hingga teknis perawatan tanaman.
Di saat yang sama ia juga mengembangkan Terra, yang merupakan sensor pendeteksi berbagai macam kebutuhan tanaman mulai dari nutrisi, air, kelembaban, dan lain sebagainya. Dengan gabungan keduanya, petani dapat melakukan perawatan tanaman dengan mode otomatisasi. Online. Ya, semua informasi tentang kondisi tanaman dan langkah-langkah perawatannya dapat dilakukan via android. Di sisi lain, mereka juga mengembangkan Trace dan Tani Coin sebagai produk pelacakan dan pembayaran dalam sistem jual beli ala Tanibox. Keduanya didukung dengan konsep block chain yang merupakan teknologi mutakhir dalam transaksi online.
Dengan segala terobosan itu maka pertanian akan berganti wajah di masa depan. Dari yang semula berbekal cangkul dan caping, mungkin ke depan kita hanya perlu android berikut charger-nya. Dari yang semula pertanian itu terkesan pekerjaan terbelakang dan kuno akan jadi pekerjaan yang menjanjikan dan sarat teknologi tinggi.
Pengembangan teknologi pertanian ini juga akan mendorong produksi bahan pangan lewat intensifikasi lahan. Pasalnya penerapan teknologi membuat bertani menjadi tak butuh lahan terlalu luas dan bergantung pada keramahan iklim. Semua bisa direkayasa. Ini juga menjadi solusi bagi terus berkurangnya jumlah petani kita. Maka sekali lagi, agaknya ramalan Malthus dapat kita bantah, atau paling tidak kita tunda dengan terus berinovasi dan bersikap optimis.
Siap Beradaptasi
Di awal-awal saya masuk kuliah, ada semacam kalimat motivasi dari seorang dosen, bahwa kuliah di pertanian itu sudah tepat adanya. Karena sampai kapan pun, menurut dia, manusia itu butuh makan. Dan, urusan makan adalah domainnya pertanian, di situlah sarjana pertanian menjadi penting dan punya prospek cerah, kata dia. Saya tentu saja setuju dengan sebagian argumen itu, tapi agaknya dosen saya lupa, bahwa teknologi bisa saja mengganti alur itu. Boleh jadi orang tetap butuh makan, dan karenanya perlu pertanian. Tetapi, teknologi dapat mengubah cara orang bertani sehingga sarjana pertanian bisa jadi tak relevan.
Ke depan memang banyak profesi yang akan digulung oleh robot dan model otomatisasi ala IoT. Dalam dunia perbankan misalnya, sudah banyak bank yang membatasi penerimaan karyawan lantaran m-banking makin banyak digunakan. Apalagi memang arahnya menuju cashless. Akuntan akan berhadapan dengan kecerdasan buatan, auditor berhadapan dengan sistem manajemen informasi, sales yang bersaing dengan online marketing, dan masih banyak lagi. Dalam dunia pertanian pun akan seperti itu.
Kehadiran teknologi mau tidak mau harus membuat dunia pendidikan tinggi berbenah. Terutama kampus-kampus yang menggelar Fakultas Pertanian. Kampus tak lagi boleh merasa aman hanya melahirkan sarjana yang hafal teori-teori teknis bertani. Karena itu semua akan diganti oleh seperangkat sensor dan algoritma aplikasi.
Untuk itu, sarjana pertanian harus siap beradaptasi dengan cara baru bertani tersebut. Ia mesti dibekali dengan wacana dan skilluntuk menguasai teknologi, bukan malah kalah dengan teknologi. Lebih lanjut, lulusan Fakultas Pertanian harus dibekali dengan kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang memadai agar mempunyai kompetensi hadap masalah serta inovasi. Ke depan skill seperti itu yang akan lebih banyak dibutuhkan alih-alih kemampuan menghafal dan hal-hal teknis lainnya. Ingat, di zaman yang terus berubah, cara yang sama mungkin tak berlaku untuk masalah yang sama sekalipun. Beradaptasilah!
Fajar lulusan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purwokerto, tertarik dengan isu pertanian dan teknologi informasi
Leave a Reply