Startup fintech lending di sektor pertanian Crowde mengubah strateginya dengan menutup skema crowdfunding bagi pemodal ritel. Startup agritech itu kini fokus membidik pemodal institusi.
Head of Funding & Impact Crowde Afifa Urfani menyatakan, perubahan strategi itu mulai diimplementasikan sejak 2019. Alasannya perusahaan melihat kebutuhan permodalan proyek pertanian yang cepat dan presisi, sehingga lebih cocok diakomodasi oleh dana yang tersedia dari pemodal institusi.
Dia menggambarkan, kebutuhan permodalan untuk proyek pertanian holtikultura seperti sayur dan cabai membutuhkan Rp100 juta per hektar. Sementara itu, waktu yang dibutuhkan untuk menggalang dana dari pemodal ritel membutuhkan waktu yang cukup lama. Alhasil, proyek pertanian yang dikerjakan kerap terpaksa pindah masa tanam.
“Kami paham betul tidak semua lender mengerti profil risiko permodalan agriculture. Kami melihat juga kebutuhan petani yang cepat, P2P lending yang lain juga pada kencang, dari situ kami sadar investasi dari ritel bukan solusi yang bisa kita akomodasi,” ungkapnya kepada Tech in Asia.
Hingga tahun lalu, rasio kontribusi pemodal Crowde menjadi 8 persen ritel dan 92 persen institusi. Sebanyak 85 persen mitra petani pun mengaku proses penyaluran modal menjadi lebih cepat, terkontrol, dan proyek budi daya menjadi lebih terjadwal.
Beberapa pemodal institusi yang telah bekerja sama dengan Crowde mencakup Bank BJB dan BPR Supra untuk mendanai mitra petani di wilayah Cianjur, Sukabumi, dan Garut. Dalam rentang waktu Oktober hingga November 2020, Crowde telah menyalurkan permodalan total senilai Rp22 miliar untuk 28.000 mitra petani.
Saat ini Crowde tengah menjalankan program penyaluran pendanaan bernama Women’s Recovery Fund yang membidik petani perempuan yang terdampak pandemi. Ke depannya, Crowde akan lebih banyak membidik pemodal institusi yang memiliki agenda khusus terkait perubahan iklim dan lingkungan.
Sumber : Techinasia
Leave a Reply