Kementan Sigap Tangani Sub Sektor Perkebunan Hadapi Fenomena La Nina

Curah hujan dengan intensitas tinggi dan terus menerus di beberapa wilayah Indonesia serta kejadian bencana alam yang dipicu oleh La Nina akan sangat berdampak pada keberlangsungan pertanian termasuk perkebunan. Berdasarkan Press Release Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada bulan Oktober yang lalu, menyebutkan prediksi puncak musim hujan di Indonesia diperkirakan terjadi pada Januari hingga Februari 2022. Dalam menyikapi prediksi dari BMKG tersebut Kementerian Pertanian sigap, dan segera melakukan penanganan bagi komoditas pertanian termasuk sub sektor perkebunan agar memiliki mutu yang baik dalam menghadapi kondisi alam ini.

Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian, meminta seluruh jajaran Kementerian Pertanian (Kementan) agar meningkatkan kewaspadaan terhadap peningkatan curah hujan di akhir tahun 2021 hingga awal tahun 2022, dan segera melakukan peringatan atau upaya penanganan untuk seluruh komoditas pertanian, agar stok ketersediaan pangan termasuk komoditas perkebunan tetap aman, terjaga dan tersedia.

Sesuai arahan Mentan, Ditjen Perkebunan (Ditjenbun) terus berupaya melakukan langkah-langkah penanganan atau pencegahan pada sub sektor perkebunan dalam mengantipasi Fenomena La Nina.

“Secara umum komoditas perkebunan ditanam pada daerah-daerah lahan kering dan ditanam pada areal dataran tinggi, serta memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan tanaman pangan maupun hortikultura, dimana kondisi tanaman perkebunan lebih kuat. Sehingga apabila terjadi bencana alam akibat fenomena La Nina, seperti banjir, angin puting beliung, tanah longsor, banjir bandang dan serangan OPT tidak berdampak secara signifikan terhadap tanaman perkebunan, namun akan berpengaruh terhadap produksi,” kata Ardi Praptono, Direktur Perlindungan Perkebunan.

Dampak negatif dari fenomena La Nina terhadap Subsektor Perkebunan di Indonesia, antara lain terjadinya eksplosi Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) khususnya berbagai penyakit akibat jamur, serangan hama tikus dan penurunan mutu hasil produksi perkebunan serta terjadi banjir pada lahan perkebunan terutama pada lahan gambut, karena lahan gambut merupakan lahan yang sensitif untuk ditanami komoditas perkebunan, apabila tidak dikelola dengan baik terutama pada musim kemarau berpotensi menyebabkan kebakaran lahan sedangkan pada musim penghujan akan menyebabkan banjir. Tak hanya itu, komoditas perkebunan mayoritas ditanam pada dataran tinggi dengan tingkat topografi yang curam / lereng gunung sehingga apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi dapat memicu tanah longsor yang berdampak pada lahan perkebunan.

Sedangkan dampak positifnya, apabila terjadi La Nina berlangsung bagi sektor perkebunan salah satunya yaitu sebagai cadangan air atau mengisi penampungan air (embung, parit, dan lain-lain) sehingga bisa mengoptimalkan irigasi. Selain itu, air hujan membuat ketersediaan air tanah cukup, sehingga penanaman tanaman perkebunan dapat dilaksanakan lebih awal.

Program Direktorat Jenderal Perkebunan dalam upaya penanganan dampak La Nina antara lain melalui Penerapan Hama Terpadu (PHT) komoditas perkebunan, Pembuatan Metabolis Sekunder Agens Pengendali Hayati (MS APH), Pengendalian secara terpadu melalui sistem aplikasi pada website Ditjenbun (SinTa, dan Avi My Darling), Sedangkan untuk mengetahui ketersediaan air tanah Ditjen Perkebunan berkerjasama dengan BMKG & Balitklimat – Litbang Kementan membangun Sistem Informasi Rencana Tanam dan Infrastruktur Air Perkebunan untuk Komoditas Utama (SIRAMI KEBUNKU).

“Untuk itu Kementan melalui Ditjenbun, melakukan strategi penanganan fenomena La Nina pada sub sektor pekebunan melalui kegiatan mitigasi dan adaptasi,” ujar Ardi.

Ardi menambahkan, Kegiatan Adaptasi difokuskan pada aplikasi teknologi adaptif seperti penyesuaian pola tanam, teknologi pengelolaan lahan, pupuk, air dan lain-lain, sedangkan Kegiatan Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, yang terdiri dari antisipasi (sebelum bencana), saat bencana (tanggap darurat), dan pasca bencana.

Adapun Kegiatan Adaptasi dan Mitigasi yang dilakukan Ditjen Perkebunan melalui kegiatan demplot kebun adaptasi & mitigasi DPI dalam bentuk pembangunan embung, lubang biopori, rorak dan ternak kambing dan Pembentukan desa organic berbasis komoditi perkebunan.

“Dalam penanganan dampak La Nina, diperlukan koordinasi secara kontinyu dan berkesinambungan antara berbagai pihak terkait seperti BMKG, Kementerian Pertanian, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga pelaksana lapangan yang berada di daerah, dalam upaya penanggulangan bencana alam akibat dampak La Nina. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi pemetaan daerah rawan bencana dan penanganannya secara berkesinambungan,” ujarnya.

Ardi berharap dengan diterapkannya strategi penanganan ini, dapat membantu pekebun dalam menghadapi fenomena La Nina ini, dan ketersediaan stok komoditas perkebunan aman, bermutu baik dan tetap memiliki nilai daya saing.