Pangan sebagai Komoditas & Tata Kelola Impor di Indonesia
Pengantar Materi Diskusi
Pembangunan pertanian pangan periode 2013-2023 diawali dengan berbagai program besar yaitu: 1) target swasembada padi jagung kedelai 2015 – 2017 melalui UPSUS Pajale, 2) swasembada gula nasional 2015 – 2019, 3) swasembada bawang putih 2017 – 2019, 4) rice estate Merauke seluas 1,2 juta hektar 2015 – 2019, dan 5) food estate 2020 hingga sekarang.
Semua program tersebut gagal. Produksi padi selama pemerintahan saat ini (2014 – 2023) justru menurun rata-rata sebesar 1,0 persen tiap tahun, yang menyebabkan stok beras awal 2023 sangat tipis sehingga Indonesia harus mengimpor beras 3,06 juta ton yang menjadi impor beras terbesar selama 25 tahun terakhir. Rekor impor beras akan terlampaui lagi di 2024 melalui keputusan impor oleh pemerintah sebesar 3,6 juta ton.
Neraca perdagangan pangan juga menjadi isu besar selama 10 tahun terakhir ini. Ekspor komoditas pertanian membaik dari 30,67 milyar USD (2013) menjadi 44,27 milyar USD (2022) tetapi kemudian turun menjadi 36,27 milyar USD (2023) karena turunnya harga minyak sawit dunia. Surplus neraca perdagangan menurun dari 17,94 milyar USD menjadi 10,91 milyar USD. Ekspor didominasi oleh subsektor perkebunan sebesar 94,56 persen terutama kelapa sawit.
Sebaliknya impor komoditas pangan melonjak dari 10,07 milyar USD (2013) menjadi 18,76 milyar USD (2023) yang menghasilkan defisit neraca perdagangan dari 8,90 milyar USD (2013) menjadi 16,28 milyar USD (2023) atau hampir dua kali lipat yang setara dengan 253 trilyun rupiah. Saat ini ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan untuk gandum 100 persen, bawang putih 100 persen, kedelai 97 persen, gula 70 persen, dan daging sapi 50 persen.
Usaha Pertanian Perorangan (UTP) menurun dari 31,71 juta unit menjadi 29,34 juta unit atau sebesar 7,47 persen. RUTP subsektor tanaman pangan menurun sebesar -12,28 persen, hortikultura -10,44 persen dan perkebunan -14,82 persen.
Jumlah rumah tangga petani pengguna lahan kurang dari 0,5 ha meningkat signifikan dari 14,12 juta rumah tangga menjadi 16,89 juta rumah tangga demikian juga persentasenya dari 55,3 persen (2013) menjadi 62,05 persen (2023). Di Pulau Jawa pertani berlahan sempit berada di kisaran 81,36 persen (Jawa Barat) dan 89,64 persen (DI Yogyakarta). Petani berumur lebih dari 45 tahun meningkat dari 61,86 persen (2013) menjadi 66,4 persen (2023).
Tidak ada satupun food estate yang berhasil sejak 25 tahun terakhir, termasuk rice estate Merauke 2015 dan food estate Semua program food estate salah di konsep dan dalam pelaksanaannya melanggar kaidah-kaidah akademik.
Sebagai penutup, kita menghadapi persoalan besar terkait pangan kita. Persoalan tersebut diperburuk dengan jargon pangan murah yang didengungkan oleh sebagian besar partai dan birokrat saat petani bertatih-tatih berupaya mengatasi kesengsaraan mereka akibat harga produk pertanian di bawah biaya produksi. Kebijakan pangan terlalu berat sebelah ke konsumen dan melupakan petani. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian dan pangan harus betul-betul dilakukan secara profesional oleh orang-orang yang benar-benar paham terhadap isu tersebut tidak hanya sekedar kontrak politik, bagi-bagi kekuasaan dan proyek saja. Pangan adalah “Soal Hidup atau Matinya Bangsa Kita” demikian yang disampaikan Poklamator kita.